TRAWLMEDIAINDONESIA.ID
JAKARTA - Suasana di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Rabu (15/10/2025), mendadak menjadi pusat perhatian ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melangkah keluar ruang rapat.
Dengan nada tenang tapi penuh keyakinan, ia memaparkan alasan di balik keputusannya yang memicu perdebatan tajam di kalangan ekonomi dan politik: menolak penggunaan APBN untuk membayar utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh).
Menurut Purbaya, tanggung jawab pembayaran seharusnya tidak lagi berada di pundak pemerintah.
Sejak seluruh dividen dari badan usaha milik negara (BUMN) dialihkan ke BPI Danantara Indonesia, maka lembaga tersebutlah yang kini seharusnya menanggung kewajiban tersebut.
“Dulu kan semuanya pemerintah yang (menanggung).
Tapi ketika sudah dipisahkan dan seluruh dividen masuk ke Danantara, Danantara cukup mampu untuk membayar itu,” ujar Purbaya lugas, menatap wartawan yang mengerubunginya.
Bagi Purbaya, ini bukan sekadar soal teknis akuntansi negara, tetapi tentang prinsip tata kelola keuangan publik yang sehat.
Ia menilai, ketika sumber pendapatan telah dialihkan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ke Danantara, maka sudah semestinya tanggung jawab pun ikut berpindah.
“Kementerian Keuangan tidak lagi menerima dividen BUMN sebagai penerimaan negara sejak tahun ini karena seluruhnya telah dialihkan ke Danantara,” jelasnya tegas.
Dampak ke Fiskal Negara: PNBP Menurun, Tapi Prinsip Dijaga
Kebijakan ini memang membawa konsekuensi. Dengan alih dividen tersebut, pemerintah kehilangan potensi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sekitar Rp 80 triliun. Imbasnya, realisasi PNBP tahun 2025 diproyeksikan hanya mencapai Rp 477,2 triliun, atau 92,9 persen dari target APBN sebesar Rp 513,6 triliun.
Namun bagi Purbaya, angka bukan segalanya. Ia lebih menekankan pada keberlanjutan sistem fiskal yang transparan dan akuntabel.
Baginya, prinsip bahwa pihak yang menerima dividen juga harus menanggung kewajiban dari aset yang mereka kelola adalah bentuk konsistensi dalam tata kelola keuangan negara.
Apalagi, operator proyek Whoosh, yaitu PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), memiliki pemegang saham utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang tak lain adalah BUMN.
Maka, secara logika fiskal, beban utang proyek ini lebih tepat dibayar oleh Danantara, bukan oleh pemerintah lewat APBN.
“Danantara Terima Rp 90 Triliun Dividen, Harusnya Cukup”
Dalam kesempatan terpisah di Wisma Danantara, Jakarta, Purbaya bahkan mengaku sudah menyampaikan langsung pandangan ini kepada Chief Executive Officer (CEO) BPI Danantara, Rosan Roeslani. Ia menilai Danantara memiliki kapasitas keuangan yang cukup besar untuk menanggung cicilan utang proyek kereta cepat yang ditaksir sekitar Rp 2 triliun per tahun.
“Sudah saya sampaikan. Kenapa? Karena Danantara terima dividen dari BUMN hampir Rp 90 triliun. Itu cukup untuk menutup pembayaran tahunan sekitar Rp 2 triliun untuk utang kereta cepat.
Dan saya yakin uangnya setiap tahun akan lebih banyak di situ,” kata Purbaya dengan nada penuh keyakinan.
Sikap ini memperlihatkan konsistensi seorang Purbaya: tegas menjaga garis fiskal, berani menolak tekanan, dan tetap berpegang pada prinsip efisiensi keuangan negara.


