TrawlmediaIndonesia.id
Bekasi — Surat Peringatan (SP) yang dikeluarkan oleh Kelurahan Bekasijaya, Kecamatan Bekasi Timur, kepada sejumlah warga di wilayah RW 02 Bekasi Mede menuai kritik tajam dari masyarakat. Surat bertajuk Surat Peringatan 2 itu dinilai tergesa-gesa, tidak transparan, dan berpotensi menimbulkan keresahan sosial.
Dalam surat tersebut, pihak kelurahan menyebut bahwa bangunan warga berdiri di atas lahan fasilitas umum (fasum), fasilitas sosial (fasos), dan garis sepadan sungai (GSS), yang disebut merupakan milik pemerintah atau pihak ketiga seperti Perum Jasa Tirta (PJT). Warga diberi waktu lima hari untuk melakukan pembongkaran mandiri.
Namun, sejumlah Aktivis dan Tokoh Pemuda Kota Bekasi menganggap langkah tersebut melampaui batas kewenangan kelurahan serta mengabaikan prinsip musyawarah dan keadilan prosedural.
“Kami tidak anti penertiban, tapi jangan langsung main SP tanpa dasar hukum yang jelas. Kelurahan itu bukan eksekutor,” tegas Ali, Tokoh Pemuda Kota Bekasi, saat ditemui di kawasan Bekasi Timur, Senin (3/6/2025).
Ali menyebut, urusan tata ruang seharusnya menjadi domain dinas teknis seperti Dinas Tata Ruang atau Satpol PP. Ia menekankan bahwa kelurahan tidak memiliki fungsi penindakan dan seharusnya hanya memberikan informasi administratif atau himbauan sesuai dengan perannya sebagai perpanjangan tangan pemerintah kota di tingkat lokal.
“Ketika lurah mengeluarkan surat peringatan pembongkaran, itu sudah melampaui kewenangannya. Ini bukan sekadar kesalahan prosedur, tapi menunjukkan bahwa lurah tidak memahami tupoksi kelembagaannya sendiri,” tambah Ali.
Hal senada disampaikan Agung, Sekretaris Titah Rakyat Kota Bekasi, yang menyoroti minimnya komunikasi antara aparatur kelurahan dan masyarakat sebelum surat dikeluarkan.
“Tidak ada sosialisasi, tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Tahu-tahu surat peringatan dikirim. Ini bukan bentuk negara hadir di tengah rakyat,” ungkap Agung.
Ia juga menyoroti bahasa intimidatif dalam surat tersebut yang menyebut akan ada “upaya lain” jika warga tidak mematuhi dalam lima hari. Bagi Agung, gaya komunikasi semacam ini jauh dari pendekatan pelayanan publik yang bermartabat.
“Bahasa seperti itu tidak membangun kepercayaan publik. Penataan wilayah itu perlu, tapi pendekatannya harus manusiawi. Negara harus mengajak warga berdialog, bukan menakut-nakuti,” ucapnya.
Kedua tokoh ini menekankan bahwa permasalahan bukan pada upaya penataan wilayah, melainkan pada cara dan prosedur yang ditempuh. Mereka menilai, dalam konteks pelayanan publik, setiap tindakan harus mengacu pada prinsip partisipatif, transparan, dan sesuai batas kewenangan.
“Jika sebuah kebijakan menyangkut langsung hak hidup warga, maka prosedur yang sah dan partisipasi publik bukan sekadar formalitas—itu adalah fondasi keadilan. Ketika kelurahan bertindak di luar batas kewenangannya dengan mengeluarkan surat peringatan penggusuran, maka ini bukan hanya pelanggaran administratif. Ini bisa menjadi objek pengaduan hukum dan mencerminkan kegagalan aparatur dalam menjalankan fungsi pelayanan publik secara benar,” ungkap Ali.
Mereka menilai, tindakan kelurahan yang terlalu berani bertindak layaknya lembaga penegak ketertiban, tanpa dasar hukum dan proses yang inklusif, hanya memperkeruh suasana serta membuka potensi konflik horizontal.
Tokoh pemuda dan aktivis Titah Rakyat Kota Bekasi menyerukan agar PJT dan Pemerintah Kota Bekasi mengambil peran aktif, hadir langsung ke lapangan, serta membuka ruang dialog yang melibatkan warga terdampak, RT/RW, dan instansi teknis terkait.
“Keputusan sepenting ini tidak boleh dilakukan tanpa keterlibatan warga. Tanpa itu, penataan justru akan kehilangan legitimasi sosial yang sangat dibutuhkan dalam membangun kota yang adil,” kata Ali.
Lebih jauh, Ali menegaskan bahwa apabila dalam waktu dekat Kelurahan Bekasi Jaya tidak mencabut atau meninjau ulang Surat Peringatan 2 tersebut, maka pihaknya bersama warga dan aktivis hukum akan menempuh jalur konstitusional.
“Kami sedang menyiapkan langkah hukum berupa laporan Ke PTUN , BKN , Ombudsman dan bahkan akan kita tempuh sampai Kemendagri . Kami ingin memastikan bahwa setiap kebijakan publik—apalagi yang menyangkut hak dasar warga—harus sesuai prosedur, tunduk pada hukum, dan tidak boleh dilakukan secara sepihak,” tegasnya.
(Obet)