Trawlmediaindonesia.id
Jakarta- Bencana alam yang kembali melanda berbagai wilayah di Sumatera dan Aceh baik berupa banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, maupun bencana hidrometeorologi lainnya menjadi pengingat keras bahwa tantangan kebencanaan di Indonesia belum sepenuhnya terkelola secara sistematis dan berkelanjutan. Setiap peristiwa bencana selalu membawa dampak multidimensi, tidak hanya kerusakan fisik dan korban jiwa, tetapi juga ujian serius terhadap tata kelola pemerintahan, koordinasi antarinstansi, serta keterbukaan informasi publik.
Dalam situasi darurat, kecepatan dan keakuratan informasi menjadi faktor penentu keberhasilan penanganan bencana. Informasi yang jelas mengenai wilayah terdampak, jumlah korban, kondisi pengungsian, serta kebutuhan mendesak masyarakat sangat dibutuhkan, tidak hanya oleh aparat pemerintah dan relawan, tetapi juga oleh masyarakat luas. Keterbukaan informasi dalam konteks kebencanaan bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan bagian dari upaya penyelamatan dan perlindungan warga negara.
Sayangnya, berbagai pengalaman penanganan bencana di Sumatera dan Aceh menunjukkan bahwa persoalan informasi masih menjadi titik lemah. Perbedaan data antarinstansi, keterlambatan penyampaian informasi resmi, serta minimnya penjelasan yang komprehensif kepada publik sering kali memicu kebingungan. Di ruang publik dan media sosial, kekosongan informasi tersebut kerap diisi oleh spekulasi, rumor, bahkan hoaks, yang pada akhirnya memperburuk situasi psikologis masyarakat terdampak.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik secara tegas mengamanatkan bahwa badan publik wajib menyediakan dan menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas, terlebih dalam kondisi yang mengancam hajat hidup orang banyak. Informasi kebencanaan seharusnya menjadi kategori informasi yang diumumkan secara serta-merta, tanpa harus menunggu permintaan dari publik. Dalam praktiknya, prinsip ini belum sepenuhnya dijalankan secara konsisten di lapangan.
Koordinasi informasi antarlevel pemerintahan mulai dari pemerintah daerah, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), hingga instansi pusat perlu diperkuat. Satu pintu informasi yang jelas dan terintegrasi sangat penting untuk mencegah perbedaan narasi dan data. Ketika setiap instansi menyampaikan versi informasi masing-masing tanpa sinkronisasi, kepercayaan publik justru berpotensi menurun.
Selain itu, transparansi dalam pengelolaan bantuan bencana juga menjadi perhatian penting. Publik berhak mengetahui alur distribusi logistik, sumber pendanaan, serta mekanisme penyaluran bantuan kepada korban. Keterbukaan dalam aspek ini bukan dimaksudkan untuk mencari kesalahan, melainkan untuk memastikan bahwa bantuan benar-benar sampai kepada masyarakat yang membutuhkan dan dikelola secara akuntabel.
Pemanfaatan teknologi informasi seharusnya menjadi peluang besar dalam meningkatkan keterbukaan. Platform digital, situs resmi pemerintah, serta kanal media sosial dapat digunakan untuk menyampaikan pembaruan informasi secara real time. Namun, pemanfaatan teknologi tersebut perlu dibarengi dengan kapasitas sumber daya manusia yang memadai, serta standar komunikasi krisis yang jelas agar pesan yang disampaikan tidak menimbulkan multiinterpretasi.
Di sisi lain, peran media massa sangat strategis dalam menjembatani informasi antara pemerintah dan masyarakat. Media tidak hanya berfungsi sebagai penyampai berita, tetapi juga sebagai pengawas publik yang mendorong transparansi dan akuntabilitas. Namun, media juga dituntut untuk tetap menjunjung tinggi prinsip verifikasi dan keberimbangan, terutama dalam situasi bencana yang sensitif dan dinamis.
Masyarakat pun memiliki tanggung jawab moral dalam ekosistem informasi kebencanaan. Literasi informasi menjadi kunci agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh kabar yang belum terkonfirmasi. Partisipasi publik yang sehat melalui pelaporan kondisi lapangan, pengawasan distribusi bantuan, hingga penyampaian kritik konstruktif dapat menjadi penguat tata kelola bencana yang lebih baik.
Lebih jauh, bencana di Sumatera dan Aceh seharusnya menjadi momentum evaluasi menyeluruh, tidak hanya pada aspek respons darurat, tetapi juga pada fase pra-bencana dan pasca-bencana. Keterbukaan informasi terkait peta rawan bencana, perizinan tata ruang, serta kebijakan lingkungan perlu diperkuat sejak awal. Banyak bencana yang dampaknya diperparah oleh faktor non-alam, seperti alih fungsi lahan yang tidak terkendali dan lemahnya pengawasan.
Dalam jangka panjang, membangun sistem keterbukaan informasi yang kuat dalam penanggulangan bencana akan berkontribusi pada peningkatan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Kepercayaan tersebut merupakan modal sosial yang sangat penting dalam situasi krisis, ketika pemerintah membutuhkan dukungan dan partisipasi aktif dari masyarakat.
Bencana memang tidak dapat sepenuhnya dihindari, tetapi dampaknya dapat diminimalkan melalui tata kelola yang baik, transparan, dan akuntabel. Keterbukaan informasi publik bukanlah beban tambahan dalam penanganan bencana, melainkan bagian integral dari solusi. Dengan informasi yang terbuka, jelas, dan dapat dipertanggungjawabkan, proses penanggulangan bencana di Sumatera dan Aceh diharapkan dapat berjalan lebih efektif, manusiawi, dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Oleh: Rizky Tarmasi, Pemerhati Keterbukaan Informasi Publik


